Inilah Dieng ( Pesona, Potensi, Misteri )
This Is Dieng ( The Charm, Potensial, Mystery )
Inilah Dieng. Dieng adalah cerita yang tidak ada habis-habisnya tentang masa lalu, tentang alam awang uwung, kosong, nihil, nisbi, sekaligus misteri. Dari dimensi geologis, kontur kebumian, aklimatisasinya, artefak dan situs percandiannya, keanekaan hayati, sampai sosial kosmo antropologis, kultural dan historisnya, Dieng juga lekat dengan sisi mistis magis spiritual kebatinannya.
Saya bertanggung jawab untuk mengatakan bahwa Dieng adalah tanah penuh keajaiban (super miracles dan full miracles). Dari namanya pun penuh aura magis di dalamnya, bukan sekedar akronim dari adi dan hyang atau gunung para dewa, edi dan hyang atau puncak negeri dewata, tetapi juga edi dan aeng, aneh dan langka, serta suasana batin yang dalam dan liris panjang yang harus diurai.
Bila di masa lalu sekitar abad ke-8 Masehi Dinasti Wangsa Sanjaya memutuskan membangun situs percandian di Dataran Tinggi Dieng, tentulah bukan sebuah kebetulan. Apalagi kompleks candi yang dibangun adalah jenis Candi Siwa, candi yang dalam Agama Hindu dikenal sebagai candi untuk memuliakan Dewa-dewa Hindu. Berbeda dengan Candi-candi Siwa di situs lainnya, beberapa arca yang ditemukan di kompleks Candi Dieng adalah Arca Siwa Trisirah atau tiga wajah dalam satu tubuh. Tiga Kepala pada Siwa adalah ciri yang dominan dari Siwa Mahadewa. Karenanya Siwa Trisirah adalah juga Mahadewa. Siwa Trisirah, sebagaimana sifatnya yang Mahadewa atau The Supreme God, maka Siwa Trisirah bersifat sebagai Sang Pencipta, Pemelihara, dan Pengembali Alam Semesta ke Asalnya.
Diperoleh informasi pula, situs Dieng memiliki keunikan lain karena ditemukan siwa yang diarcakan dalam posisi duduk di atas padmasona dengan posisi wajraparyankasana. Ikon ini digambarkan dengan tiga kepala, masing- masing mengenakan jasamakutha. Tangannya empat, kedua tangan yang depan menunjukkan sikap sama di (yogamudra), sedangkan kedua tangan lainnya masing-masing memegang aksamala dan camara. Abharana yang dikenakan terdiri atas kundhala, hara, keyura, udarabhanda, uparupa berupa selempang kain, kangkana, dan padawajaya
Bukan Candi Tunggal
Tempat pemuliaan itu bukan candi tunggal, namun kompleks candi, dari bangunan utama yang mengumpul seperti Kompleks Candi Pandawa, sampai candi - candi utama yang agak terpisah seperti Candi Bima, Candi Gatotkaca, Candi Dwarawati, Candi Parikesit, Candi Setyaki, sampai candi-candi kecil yang baru beberapa bulan lalu diketemukan oleh masyarakat, di antaranya Candi Wisanggeni, yang terletak di Bukit Pangonan sebelah barat laut, tepat di atas Telaga Merdada. Kompleks candi itu dilengkapi dengan bangunan Dharmasala, yakni asrama tempat para cantrik menimba wulang wuruk ilmu agama dan kanuragan kepada pandhita atau guru. Berarti Dieng di masa lalu juga merupakan mandala pawiyatan yang menyatu dengan lokasi pemuliaan kepada dewa-dewa Hindu.
Nama-nama candi tersebut diyakini para arkeolog bukan berasal dari nama Mahabharata, namun modifikasi dari budaya lokal. Hal itu terlihat pada nama Candi Semar, dimana dalam Kitab Mahabharata tidak ditemukan tokoh Semar. Lebih-lebih dari prasasti yang ada ditemukan angka 713 tahun saka sebagai ancer-ancer (perkiraan) pembuatannya atau sekitar abad kedelapan, sementara tokoh Semar bersama punakawan lainnya baru muncul pada abad ke delapanbelas.
Terbayang sebuah hamparan tanah luas 100 ha, dimana sentralnya kompleks percandian, lalu ada asrama tempat para cantrik bersenandung, membaca Kitab Wedha dan belajar yang lain di kanan kiri bangunan pemukiman penduduk asli. Sementara di kanan kiri pemukiman tergelar taman bunga aneka warna mengharumkan di tepian telaga, di bawah langit berkabut yang beradu dengan aroma dupa dan kayu cendana. Kasi Purbakala Drs. Hutomo, M. Hum meyakini bahwa Kompleks Candi Dieng merupakan Candi Hindu tertua di Nusantara. Candi Dieng dibangun khusus untuk peribadatan, bukan untuk simbol
kemegahan atau pencitraan kekuasaan seperti halnya Candi Borobudur ataupun Candi Prambanan. ltulah makanya Candi Dieng bentuknya sederhana, namun berada pada lokasi yang sangat spesiļ¬k, pada sebuah lembah di dataran tinggi. Antara kompleks candi dengan bentuk alam dan panorama merupakan satu kesatuan.
Inilah yang membuat Candi Dieng menjadi unik, khas. Sebuah karya yang dibuat pada abad ke delapan, namun teknologi dan arsitekturnya berkelas abad dua puluh satu. Keberfungsian Kompleks Candi Dieng bisa disamakan dengan Kompleks Candi Gedongsanga di kabupaten Semarang, yang juga mengambil lokus di sela-sela perbukitan Gunung Ungaran.
Komentar
Posting Komentar